Oleh : Solahuddin al-Idrusi
Jatuhnya ibu kota Yaman, Sana’a, tanggal 21 September 2014 ke tangan militan Syiah Houthi atau Hutsi tentu menjadi perhatian umat Islam dunia, khususnya Arab. Selain itu, peristiwa ini juga kian menjadikan nama kumpulan militan boneka Iran itu ‘membumbung’ di udara. Orang-orang yang sebelumnya belum mengenal mereka, pun menjadi ingin mengetahui siapa mereka sebenarnya.
Tentu saja, jatuhnya sebuah ibu kota negara bukanlah suatu yang remeh dan mudah. Apalagi dilakukan oleh kelompok kecil, tentu mereka sudah memiliki persiapan dan usaha yang panjang untuk melakukannya. Dan tentu saja mereka juga memiliki tujuan yang mereka inginkan. Lalu siapakah mereka? Apa tujuan mereka? Dan siapa yang menbiayai mereka? Mudah-mudahan artikel berikut ini bisa memberikan sedikit gambaran dan jawapan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Munculnya Houthi
Kisah munculnya Syiah Houthi bermula dari sebuah desa atau kota kecil yang bernama Sa’dah. Sebuah kota yang terletak 240 Km di utara ibu kota Sana’a. Di sana terdapat kumpulan terbesar orang-orang Syiah Zaidiyah di Yaman. Pada tahun 1986, dibentuklah di sana sebuah kumpulan untuk mempelajari ajaran-ajaran Syiah Zaidiyah.Kumpulan itu disebut dengan Ittihad asy-Syabab (Persatuan Pemuda). Untuk memperlancar proses pembelajaran di sana, salah seorang ulama Zaidiyah yang bernama Badrudin al-Houthi mendatangkan para pengajar dari berbagai daerah untuk menetap di wilayah Sa’dah.
Pada tahun 1990, Yaman Utara dan Yaman Selatan pun bersatu membentuk negara demokrasi baru yang bernama Republik Yaman. Sistem demokrasi menuntut adanya parti politik dan parlimen. Saat itulah Ittihad asy-Syabab menjelma menjadi parti politik dengan nama baru Parti al-Haq (Hizbul Haq) sebagai penyambung aspirasi Syiah Zaidiyah di Republik Yaman. Dari parti itu juga muncul seorang kadernya yang bernama Husein bin Badruddin al-Houthi, anak dari Badrudin al-Houthi. Ia menjadi seorang politikus yang terkenal dan menjadi anggota parlimen (DPR) Yaman pada 1993-1997 dan 1997-2001.
Seiring perkembangan pemikiran Syiah Zaidiyah di negeri Yaman, muncul lah keretakan hubungan antara Badruddin al-Houthi dengan ulama-ulama Zaidiyah lainnya.Mereka membolehkan para pengikut Syiah Zaidiyah untuk memilih seorang pemimpin atau tokoh agama walaupun bukan dari keturunan Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum. Badruddin yang merupakan seorang penganut aliran Jarudiyah (salah satu aliran Zaidiyah yang dekat dengan Syiah Itsna Asyariyah) menolak keras fatwa ini. Saat itulah ia mulai cenderung kepada Syiah Itsna Asyariah lalu terang-terangan membela pemikiran tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mulai mengkritik pemikiran Syiah Zaidiyah. Karena hal ini, Badruddin pun diasingkan ke Teheran, ibu kota Iran.
Meskipun Badruddin al-Hutsri sudah hijrah ke Teheran, namun pengaruh pemikiran Syiah Itsna Asyariyahnya tetap hidup di Yaman, khususnya di wilayah Sa’dah. Bagaimana tidak, ia adalah seorang tokoh Zaidiyah yang berjasa mengembangkan madzhab tersebut di Yaman dan tentu saja memiliki kesan yang mendalam bagi pengikutnya di sana. Kepergian Badruddin ke Iran bersamaan dengan pengunduran diri Husein bin Badruddin dari Parti al-Haq. Ia membentuk kelompok baru yang pada awal berdirinya hanya bergerak di bidang keagamaan saja. Namun kemudian, kelompok ini bergabung dengan pemerintah melawan Parti Persatuan Yaman yang merupakan perwakilan Ahlussunnah. Pada tahun 2002, kelompok ini memegang posisi menjadi pemerintah.
Kelompok Husein al-Houthi pun kian menguat dan berhasil menekan Presiden Ali Abdullah Saleh agar mengeluarkan kebijakan mengembalikan Badruddin al-Houthi ke tanah airnya Yaman. Oleh kerana tidak mengetahui bahaya gerakan Syiah Itsna Asyariyah, Presiden Ali Abdullah Shaleh pun menyetujui kepulangan Badruddin al-Houthi ke tanah Yaman.
Kemasukkan Militan houthi di Sana’a menyebabkan kerugian besar dalam bidang pengajian kerana mereka memburu Masyaikh-Masyaikh di Yaman sehingga Pengajian talaqi dan universiti berkurangan.
Seperti universiti Iman kilang yang melahirkan beribu-ribu ulama’ setiap tahun.Sekarang kilang ini tidak lagi berfungsi menyebabkan Rakyat hilang arah rujukan. Universiti Iman adalah tempat pengajian atau Madrasah yang ‘memadrasahkan’ pejuang lebih tepat ialah pusat gerakan Islam yang mengkaderkan generasi pejuang. Antara jasa universiti Iman adalah mewajibkan semua pelajar ‘mempratikkan’ dan berkhidmat di pelusuk dan diseluruh lorong-lorong di Yaman lantas Mengeluarkan manusia yang jahil kepada berpengetahuan..
جئنا لنخرج الناس من عبادة العباد الى عبادة الواحد القهار
Sebab Kekuatan Houthi
Ada beberapa hal yang menjadikan sekelompok Houthi begitu kuat hingga dapat menggugat pemerintah Yaman.
Pertama: Bantuan Iran. Iran adalah Negara Syiah Itsna ‘Asyariyah yang begitu aktif menyebarkan ideologinya ke seluruh negeri-negeri muslim. Bahkan keinginan kuat itu sudah muncul sejak mula, ketika revolusi Syiah Iran berhasil menumbangkan rejim Syah Pahlevi, Khomeini sang pemimpin revolusi langsung menyatakan melalui siaran radio bahawa revolusi Syiah mereka akan terus menyebar hingga menuju Mekah dan Madinah.
Penulis mendapat khabar dari beberapa relawan Yaman saat terjadi perang di Damaj, bahwa banyak pejuang-pejuang Syiah di sana bertutur dengan Bahasa Parsi dan berpasport Iran. Ertinya, Iran tidak hanya menyumbang logistik perang saja, tapi mereka juga menerjunkan tentera republik mereka untuk membela kepentingan Syiah Houthi dan membela kepentingan Syiah Itsna Asyariyah di dunia Arab.
Kedua, sebagaimana kita ketahui, Yaman adalah salah satu negara termiskin dan mundur di kepulauan Arab. Banyak masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Kekeringan adalah pemandangan yang merata di daerah yang dulunya terdapat negeri Saba’, negeri yang subur dan makmur itu. Pembangunannya pun menyedihkan. Bahkan ada seorang perantau yang mengisahkan bahwa tidak ada perbezaan antara bandar Sana’a yang ia tinggalkan belasan tahun yang lalu dengan bandar Sana’a yang ada sekarang. Tidak ada infrastruktur baru dan pembangunan yang membuatnya menjadi berubah.
Houthi berhasil mengangkat isu-isu ekonomi, sosial, dan pembangunan Yaman yang sangat buruk sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam membangun negeri nenek moyang bangsa Arab itu. Akhirnya, rakyat pun simpati dengan gerakan seperti ini. Meskipun mereka tidak sepakat secara ideologi.
Ketiga, tribalisme atau budaya kesukuan. Yaman merupakan negara yang masyarakatnya sangat kental dengan kekabilahan. Pengaruh suku dan kabilah masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di sana. Syiah Houthi mendapat cukup banyak sokongan dari para ketua kabilah.
Keempat, faktor geografi Yaman. bentuk pergunungan di Yaman cukup menyulitkan bagi tentera pemerintah untuk mengepung Militan Houthi. Mereka menjadikan gunung-gunung dan perbukitan sebagai benteng dan menjadikan gua-gua sebagai tempat persembunyian. Ditambah lagi teknologi tentera yang masih sederhana menambah kebutaan tentera pemerintah untuk memantau persembunyian-persembunyian mereka.
Kelima, Maraknya demonstrasi yang menuntut dis-integrasi Yaman untuk kembali menjadi Yaman Selatan dan Yaman Utara kembali muncul. Bahkan mantan presiden Yaman Selatan, Ali Salim al-Beidh, keluar dari persembunyiannya di Jerman turut memanaskan keadaan dengan menuntut tuntutan serupa. Tentu saja konsentrasi pemerintah terpecah, antara menghadapi oposisi dan separatis Houthi.
Cita-cita Negara Syiah
Sejarah mencatat bahwa Syiah pernah begitu cemerlang dengan Kerajaan Fatimiyah. Khususnya Fatimiyah, mereka pernah menguasai seluruh kepulauan Arab, termasuk Mekah dan Madinah. Dan saat ini, Republik Syiah Iran ingin bernostalgia dengan kejayaan masa lalu tersebut. Hal itu mereka wujudkan dengan mengalirkan revolusi Syiah Iran ke berbagai negeri Islam di dunia, khususnya di Arab.
Baru-baru ini, anggota parlimen Iran yang bernama Ali Ridha Zakani mengatakan “Saat ini, tiga ibu kota negara Arab sudah berada di genggaman Iran. Mereka semua mengikuti jejak langkah revolusi Iran”. Ujar anggota parlimen wakil dari Teheran itu, sebagaimana dikutip dari laman website dan surat khabar. Tiga ibu kota yang dimaksud oleh Zakani adalah (1) Beirut, ibu kota Libanon, (2) Damaskus, ibu kota Syria, dan (3) Baghdad, ibu kota Iraq. Kemudian Zakani melanjutkan kenyataannya bahawa apa yang sedang terjadi di Sana’a, Yaman, juga merupakan pengaliran dari revolusi Iran. Di hadapan anggota parlimen, ia menyebut bahawa saat ini Iran sedang menghadapi al-Jihad al-Akbar. Istilah itu ia sebut untuk menamakan proses penyebaran revolusi Iran di negeri Arab atau bahkan di dunia Islam.
Apa yang terjadi di Yaman semakin menguatkan cengkaman Syiah di tanah Arab. Saat ini, Mekah dan Madinah telah dikepung dari sebelah utara ada Irakq kemudian Syria, sebelah timur ada kota-kota Syiah seperti Qatif dan kota-kota di Bahrain serta Kuwait, dan sekarang ditambah Yaman di sebelah Utara. Tentu saja hal ini menjadi perkara serius bagi keamanan Arab Saudi.
Peristiwa ini juga, dapat kita ambil pelajaran untuk negeri kita, Malayisa. Strategi yang dilakukan Syiah untuk menguasai suatu negara, hampir serupa dengan apa yang dilakuan Amerika. Mereka menimbulkan kekacauan, kemudian memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai suatu daerah.